bulan tak lagi pucat dan langit tak lagi biru,.
burung-burung kembali ke sarang dan nyamuk-nyamuk mulai mengerumuniku,.
angin menenangkan, dan terik tak lagi garang,.
aku masih disini,.
menunggu diantara kebisuan kita yang mulai membiasa..
kebisuan yang semakin kencang bersuara..
apakah memang rindu harus kita kembang biakkan terlebih daulu, sebelum senyum kita kembali bersua?
senja yang sama tengah berulang,.
tanpa sms sapaan kita yang dulu biasa bersulang,.
bulan hampir purnama disini,.
mengamatiku yang menginginkan pertemuan kita yang kadang tak sempurna,.
lalu batinku bertanya,.
adakah senjamu sempurna tanpa mengajakku bertamu pada-Nya?
mungkin kesendirian harus aku menemuinya,.
bertanya kepadanya adakah dia tak lekang,. terkekang,. tak berkawan,.
aku selalu melankolis,.
terkadang menangis,.
ketika terbangun dan tak ada dirimu,.
dalam rupa, suara, aksara..
juga dalam senja seperti ini..
ketika hanya ada aku dan biru,.
dan dia pun perlahan menghitam.
17:54
Rembulan merenung diantara awan-awan pucat menggantung,.
mendengarkan kidung biyung-biyung bersenandung..
cinta tanpa suara,
melihat kerlap kelip kota,.
mengharap kerjap-kerjap kerinduan disana,
ia tau,
selamanya ia hanya menunggu..
matahari berbaik hati membagi sinarnya,.
membentuk lengkung cahaya pada tubuhnya..
04092012
mendengarkan kidung biyung-biyung bersenandung..
cinta tanpa suara,
melihat kerlap kelip kota,.
mengharap kerjap-kerjap kerinduan disana,
ia tau,
selamanya ia hanya menunggu..
matahari berbaik hati membagi sinarnya,.
membentuk lengkung cahaya pada tubuhnya..
04092012
Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah
dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan
menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan
teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka
di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang
yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata
tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba
saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di
otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada
apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan?
menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya
banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan
laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar
berbicara mendadak gagap.
Yang
pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu
pasti bercanda!
Nania
kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius!
tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu,
suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang
paling cantik!
Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang
pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak
serius dengan Rafli, kan?
Mama mengambil
inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus
iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa
yang paling cantik.
Sebab kamu paling
berprestasi dibandingkan kami.
Mulai
dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu
cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu
yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun
yang kamu mau!
Nania memandangi
mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama.
Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang
barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli,
sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari
itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai
Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab
Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga
saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa
dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania
menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah
menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya
Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania
memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga
umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya
menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang
masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania,
apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania
hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada
lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania
tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga
saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia,
siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar!
Betul. Kamu adik kami
yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya
kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka
tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat
adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak
jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga
tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu,
Nania.
Rafli juga sukses,
pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania.
Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat
hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak
Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi
punya anak.
Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal
itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa,
kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
Gaji
Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania
tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya
yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
Sebaiknya Nania
tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?
Lalu
dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu
seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan
kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa,
tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi
tidak penting.
Menginjak
tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir
begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki
suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik
masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik
orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara
Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung
suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu
bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar
untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang
kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh
pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin
besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi
yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta
kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula
dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat
itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang
teramat sangat.
Jika
semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua
Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya,
meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan,
Bu.
Sudah bertambah
sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.
Sekarang pembukaan
satu lebih sedikit.
Nania
dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki
sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh
jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan
mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua,
Pak!
Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup
lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap
nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba
hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia.
Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli
dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika
terlambat?
Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak
melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa
sendiri lebih awal.
Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya
hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.
Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya,dan langkah-langkah cepat yang bergerak,
sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan
ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti
melafalkan zikir.
Seorang dokter
keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis.
Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil
menenangkan orangtua mereka.
Rafli
seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat,
ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa
dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah
hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah
sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota
keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama,
Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali
mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi
percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki
itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk
melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti
dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah
Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat
lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra. Rafli
percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata
itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya
yang cantik.
Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk
pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat
Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan
buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud danpermohonan. Asalkan Nania sadar, yang
lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang- orang di
sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya
yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa
makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya
yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh
tujuh doa Rafli terjawab.
Nania
sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah
begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke
dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar,
semua tak penting lagi.
Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa
itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan
dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap
sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong
Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja
belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli
mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan
cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik.
Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa
cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna
di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka
sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania.
Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus
ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan
Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya
tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka
semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi
roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang
ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak
puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin
sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya,
memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak,
tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh
cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik
serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik
yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak
berani, merasa?
Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar
mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu.
Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari
teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali
perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun
pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa,
rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia
syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi
sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah
membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari
laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg
diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia
Liya pernah bercerita kalo liya
suka sekali dengan langit.. juga segala sesuatu padanya. Malam ini liya memahami
dan memikirkan tentang kejora..
Mas tau kan bintang kejora? Itu
tuh.. bintang yang Cuma keluar kalo pagi-pagi.. liya sii ngeliatnya kalo abis
subuh (pas bangun he he).. kalo dibilang bintang, sebener’a bukan.. warna’a
kuning keemasan.. paling keliatan kalo pagii.. kejora itu Venus, biasa’a ada
Merkurius juga.. tapi kalo merkurius warna’a biru..
Sii kejora ini.. muncul’a pas
pagii buta.. ada yang nganggep dy sbg bintang harapan.. kalo liya sendiri sii
suka ma kombinasi’a..
kejora-lembayung
fajar-mentari pagi
ada langit hitam yang
berangsur-angsur berwarna-warni..
ada dingin yang makin
menghangat..
ada gelap yang berangsur-angsur
menjadi terang..
ada batas malam yang bertemu
dengan pagi..
yaa.. kombinasi yang.. cantik!
Kaya waktu itu tuh.. waktu qta d
parang ijo..
Tentang qta..
Liya b’harap banget qta bisa
sabar, jeli, mensyukuri dateng’a kejora.
Kalo diibaratin nih..
Sekarang-sekarang ini ru malem’a
kali yaa..
Gelap, dingin, sepi, mencekam,.
(he, lebay ga sii -.-“)
Banyak bintang juga sii.. yang
cantik kelap-kelip’a.. tetep harus disyukuri, tapi kejora yang ngabarin qta
tentang pagi.. belum dateng sekarang..
Banyak mimpi2 yang masii harus
qta hadapi sendiri.. kalo mimpi’a bagus ya dinikmatin.. kalo pas buruk yaa
dinikmatin juga, he iya kan? Toh nyata’a liya ga bisa gitu ikut campur masuk
tidur’a mas.. he he
Barang kali gitu juga buat mimpi
qta masing-masing (mimpi yang tanpa tidur) jalan’a sekarang juga mesti kaya
gitu dulu apa yaa.. --?
Sampe suatu saat nnti Allah
ngasih kejora itu buat qta..
=)
Sayang..
Pinter
banget bikin liya kangeen sii..
22:17
FryD
24082012
Langganan:
Postingan (Atom)